BAB 1 PERRY KECIL DAN MUDA
Perry Alus Siboro lahir di Lae Mbara, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. pada tanggal 29 Oktober 1936. Perry adalah anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan petani Barita Laut Siboro dan Paderia Boru Naibaho. Berbeda dengan saat ini di mana bertani merupakan pekerjaan untuk mendapatkan hasil panen yang kemudian untuk dijual guna membeli makanan, bertani pada masa itu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Segala sesuatu masih sangat terbatas dan sangat sederhana.
Pendidikan dasar Perry didapatnya di Sekolah Rakyat (SR) di Sitohang, Kec. Parbuluan, Kabupaten Dairi. Sebagaimana layaknya SR pada saat itu, tidak ada fasilitas yang mendukung layaknya saat ini. Selain itu, terjadi perbedaan juga tentang bagaimana kondisi SR di Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya, di antaranya di Pulau Sumatera. Walau demikian, hal itu tidak menjadikan Perry menjadi enggan untuk mencari ilmu. Rasa ingin tahunya yang cukup besar mengalahkan segala keterbatasan yang ada hingga akhirnya Perry dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya dengan baik.
Lahir dan tumbuh di Kabupaten Dairi, membuatnya merasa masa kecilnya jauh dari hiruk pikuk kota, jauh dari dunia modern. Sebagai seorang anak yang memiliki rasa keingintahuan yang besar, membuatnya banyak bertanya tentang bagaimana dunia di luar desa tempatnya lahir dan tumbuh. Perry kecil hanya bisa mendengar cerita tentang dunia di luar Sidikalang dari seorang adik ayahnya (oomnya) Pdt. B.G. Siboro, yang sudah melanglang buana karena bekerja sebagai penjual buku dari pintu ke pintu, yang mengharuskannya berjalan kesana kemari untuk menjajakan bukunya.
Awal kehidupan Perry dengan dunia di luar Sidikalang adalah ketika suatu waktu pamannya bercerita tentang pengalamannya di dunia luar, dan menyarankan Perry agar melanjutkan sekolahnya di Kota Pematangsiantar. Hatinya berdegup penuh semangat ketika mendengar cerita oomnya kala itu, diceritakannya di Pematangsiantar baru saja dibuka sebuah sekolah baru yang dikelola oleh misi Advent bersama orang-orang asing sebagai guru-guru di sekolah itu. Mendengar cerita Sang Oom, darah semangat semakin deras mengalir dalam nadinya.
Segera setelah menamatkan pendidikan dasarnya, Perry meyakinkan orangtuanya untuk dapat memberikan restu pada dirinya untuk bisa melanjutkan sekolah di Kota Pematangsiantar. Pada usianya yang masih cukup belia, Perry meninggalkan desa kelahirannya, dan membuka jalan ke dunia baru bagi dirinya. Satu pikiran yang melekat padanya saat itu adalah rasa ingin tahunya yang cukup besar akan dunia luar dan harapannya untuk bisa berkembang.
Tahun pertama Perry di Sekolah Menengah Pertama di North Sumatera Training School (NSTS), yang kemudian berubah menjadi Sekolah Lanjutan Advent (SLA), Martoba, Pematangsiantar. Bagi Perry, sekolah ini memiliki keunikan yang cukup menarik. NSTS memiliki perbedaan sistem kurikulum dengan sekolah lain yang ada pada saat itu. Dikala itu jenjang kelas lanjutan pertama dan menengah atas dapat mengambil kelas yang sama, digambarkan menurutnya seperti sistem kredit semester (SKS) yang diterapkan perguruan tinggi di Indonesia sekarang ini. Sistem tersebut membuatnya dapat mengenal banyak orang dan berteman dengan tidak hanya mereka yang seangkatan. Bahasa pengantar Bahasa Inggris juga membuatnya semakin menyenangi sekolah ini, berbeda dengan teman-temannya di sekolah menengah pertama lain, di sini Perry mendapatkan pelajaran dengan bahasa penghantar Bahasa Inggris dan beberapa gurunya juga merupakan orang asing.
Masa-masa ini merupakan masa yang sangat menyenangkan bagi Perry. Menyenangkan, karena baginya ini adalah pertama kalinya dia berada di luar lingkungan yang selama ini membesarkannya. Berkenalan dengan orang, lingkungan masyarakat, pengalaman dan nuansa yang baru memberikan energi positif baginya untuk terus bersemangat menghadapi hari demi hari. Sayangnya, semua kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Melanjutkan sekolah di kota lain bukanlah sesuatu hal yang mudah. Keterbatasan orang tua dalam memenuhi biaya sekolah dan asrama karena harus berada jauh dari rumah membuat Perry harus menghadapi kenyataan getir untuk meninggalkan sekolah yang menyenangkan ini. Kondisi ini membuat Perry terjebak dalam perasaan yang serba salah. Kebahagiaannya yang selama ini dirasakan di NSTS harus diakhiri begitu awal dan dia tak dapat berbuat apa-apa untuk membatalkan hal tersebut. Sehingga akhirnya, NSTS pun harus ditinggalkan.
Untuk melanjutkan pendidikannya, Oomnya (adik bapaknya) yang lain memberikan saran supaya Perry pindah sekolah ke Berastagi. Menurut sang oom, di Berastagi akan jauh lebih ringan biayanya karena dirinya akan tinggal di rumahnya di Berastagi. Perry nantinya tidak harus membayar biaya asrama seperti di Pematangsiantar karena di sana dirinya hanya memberikan beras satu kaleng dan membayar uang sekolah saja. Pada masa itu biaya sekolah menengah pertama adalah Rp. 2.500,- per bulannya.
Sayangnya, sistem kurikulum yang diterapkan di sekolah menengah pertama di Berastagi berbeda dengan di NSTS, Pematangsiantar sehingga membuat Perry harus mengulang lagi dari tahun pertama. Harus meninggalkan sekolah yang disenanginya, berpindah kota dan mengulang satu tahun tidak membuat semangatnya surut untuk menimba ilmu, walau hanya dapat mengenyam pendidikan satu tahun di Pematangsiantar.
Masa remaja Perry akhirnya terus berlanjut di Berastagi. Hari-harinya dipenuhi dengan perjuangan untuk menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya di Sekolah Menengah Pertama swasta, Taman Pendidikan Rakyat, di Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Perbedaan kurikulum tidak hanya sekedar membuatnya mengulang satu tahun di bangku tingkat pertama, namun banyak mata pelajaran yang harus dia pelajari dari awal karena tidak diajarkan sebelumnya selama di Pematangsiantar. Satu demi satu semua pelajaran baru dia pelajari dengan penuh perhatian. Walau, tidak dapat dipungkiri, ada kalanya rasa suntuk atau kesal dengan keadaan yang ada terutama karena harus meninggalkan Pematangsiantar membuat rasa kesal bercampur rasa sedih muncul silih berganti.
Selama belajar di Berastagi, Perry harus membagi waktunya mencari ilmu dengan mencari tambahan uang untuk membiayai sekolahnya. Setiap akhir pekan ketika sekolah libur, Perry mencari tambahan uang dengan bekerja mulai dari memotong kol, dan memetik jeruk. Bahkan tak jarang dirinya bekerja sebagai kuli pengangkut barang ke truk dan ikut mengantarkannya ke kota. Dengan bekerja seperti itu sebanyak dua kali di hari minggu, Perry dapat membiayai sekolahnya selama sebulan. Dia sadar tidak dapat berharap banyak dari orang tua dalam memenuhi kebutuhannya. Baginya, keterbatasan bukanlah hambatan dan semua ini adalah pengabdian kepada-Nya. Setelah tiga tahun menempuh pendidikannya di Berastagi, Perry akhirnya menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya selama tiga tahun di Kota Berastagi.