BAB 5 PERJALANAN PERRY KE BANDUNG

 Perjalanan Perry ke Bandung ternyata tak selancar yang diduga. Pada masa itu transportasi antara Sumatera dan Jawa yang paling baik adalah dengan menggunakan kapal laut, dan itu pun hanya sekali dalam sepuluh hari atau dua minggu, bahkan kadang-kadang dalam satu bulan. Sehingga persiapan yang matang perlu dilakukan dengan baik.

Dalam cerita perjalanannya menuju Bandung, Perry mendapatkan teman seperjalanannya yang bernama Dewasa Siringo-ringo, teman sekelasnya yang berencana pergi ke Muntok, Pulau Bangka, untuk menjual buku waktu liburan  nanti. Karena mendengar kata orang tentang berbelanja di Singapura bisa mendapatkan barang murah dengan kualitas bagus ketika kapal singgah, mereka pun berniat mengurus paspor agar bisa turun ke darat ketika kapal singgah. Pada waktu itu setiap penumpang yang akan naik ke kapal harus memiliki surat jalan dari kepolisian atau paspor. Untuk membeli tiket kapal pun, mereka harus dapat  menunjukkan surat jalan atau paspor tersebut. Karena jarak waktu antara hari penyelesaian urusan paspor dengan pengambilannya adalah selama dua hari, Perry pun memilih untuk pulang dulu ke rumah orangtuanya di Simangar-angar, Sumbul Pegagan, Sidikalang untuk berpamitan.

Tibalah mereka di hari pengambilan paspor di Imigrasi yang ternyata waktunya sangat berdekatan dengan waktu keberangkatan kapal mereka ke Belawan. Untuk memudahkan, mereka berencana untuk mengambil paspor di pagi hari terlebih dahulu lalu bergegas ke kantor KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij)/Pelni untuk membeli tiket, dan kapal akan berangkat pada sore harinya. Perry berangkat di pagi buta dari Sumbul menuju Medan dengan menaiki bus, namun tiba-tiba aral melintang pada perjalanannya ketika Bus yang ditumpanginya mogok di daerah Sibolangit, Kab. Karo. Para awak bus sibuk memperbaikinya. Namun baru saja jalan, tidak lama mogok lagi, demikian terjadi beberapa kali.


Akhirnya Perry pun tiba di Medan ketika waktu sudah lewat tengah hari, kantor Imigrasi sudah tutup. Dirinya tidak dapat mengambil paspor dan tentunya tidak dapat membeli tiket, karena tidak ada juga surat jalan. Ketika bertemu lagi dengan Dewasa Siringo-ringo. dirinya mendapati temannya sudah mengambil paspor dan membeli tiket kapal ke Belawan dan siap berangkat sore itu. 

Seketika, pikiran Perry diselimuti awan kekalutan, berada dalam kebingungan, semua usaha nampaknya akan sia-sia, terlebih menghadapi fakta bahwa pelayaran selanjutnya baru ada dua, tiga minggu atau bahkan sebulan lagi. Hal itu berarti dirinya akan terlambat mengikuti masa percobaan di Sekolah Perawat, Rumah Sakit Advent Bandung. Sekelebat terbesit dalam benaknya apakah Tuhan tidak memberikan jalan kepadanya menjadi seorang siswa perawat.

Di tengah kebingungan itu, rupanya bapak pemilik rumah tempat di mana dirinya dan Dewasa Siringgo-ringgo bertemu mendengar dan berusaha membantu memberikan jalan keluar. Bapak itu mengusulkan agar mereka berdua sama-sama pergi ke pelabuhan Belawan, Pada waktu para penumpang dipersilahkan naik ke kapal, masuklah keduanya ke kapal. Seorang sebagai penumpang, yang seorang lagi bertindak sebagai pengantar. Pada waktu itu masih bisa pengantar masuk ke kapal. Ketika pengumuman menyuruh para pengantar turun, maka yang bertindak sebagai pengantar tidak usah turun. Apabila pada waktu pemeriksaan tiket, pada waktu itulah beli tiket walaupun harga akan jauh lebih mahal. Itu biasa terjadi, katanya. Di tengah kebingungan yang dihadapi, Perry merasa itulah satu-satunya jalan mengatasi permasalahan ini walaupun dirinya harus sedikit berbohong. 

Akhirnya dirinya dan Dewasa Siringo-ringo memutuskan untuk berangkat menuju Belawan dengan cara itu. Setelah tak lama kapal berangkat, ada pengumuman terdengar untuk penumpang mengambil makan sore. Semua penumpang membawa tiket masing-masing untuk mengambil makanan dari dapur. Tanpa berpikir panjang mereka pun mengambil makanan untuk porsi dua orang, ketika sudah selesai makan, diumumkan bahwa semua penumpang yang ada di dek itu diharuskan berbaris kearah pintu sambil menunjukkan tiket masing-masing, dan di pintu itu telah berdiri petugas. Lalu Perry pun mengatakan pada petugas dengan jujur bahwa dirinya tidak memiliki tiket, Petugas tanpa bicara apa-apa menyuruhnya untuk berdiri dulu di sampingnya sampai proses pemeriksaan selesai.

Setelah selesai dirinya dibawa menuju kantor kapten kapal; di dalam ruangan itu Perry dihadapkan pada Kapten dan staffnya yang semuanya adalah orang Belanda. Sesudah di persilahkan duduk lalu sang Kapten berkata, “Kamu masuk kapal tanpa tiket, ya?”, dengan jujur dirinya menjelaskan alasan tentang bagaimana dirinya harus pergi ke Pulau Jawa untuk bersekolah di Bandung, dan tidak bisa lagi menunggu pelayaran selanjutnya karena minggu depan Sekolah Perawat akan memulai masa percobaannya. 


Mendengar alasan yang diuatarakannya Sang Kapten berhenti, dan tidak melanjutkan pembicaraaannya. Perry mendengar sang kapten berbicara kepada salah seorang staffnya dalam bahasa Belanda yang tidak dapat dia mengerti. Lalu orang tersebut keluar dan datang membawa segelas susu dan dua buah roti tawar lalu mempersilahkan dirinya untuk memakan rotinya dan meminum susunya. Sang Kapten lalu menunjuk lencana yang tersemat di dada Perry dan menanyakan lencana apa itu. Dirinya menjelaskan kepada Sang Kapten bahwa lencana “North Sumatra Training School” ini adalah lencana sekolahnya dulu di Pematangsiantar. 

Sang Kapten kemudian bertanya kembali, “Tidak tahukah kamu bahwa orang yang tidak punya tiket akan dipenjarakan di kapal ini dan besok akan diserahkan ke polisi di pelabuhan Singapura dan akan dikurung di sana?” Lalu Perry menjawab bahwa dirinya tidak tahu. Yang dia ketahui tiket dapat dibeli di atas kapal. Selanjutnya Kapten kapal itu, menyuruh seorang staffnya untuk meminta uang tiket darinya sebesar dua kali lipat dari harga biasa. Yang kemudian terjadi adalah Perry mengeluarkan semua uang dari kantongnya, bahkan dirinya sampai membalikkan kain kantongnya untuk menunjukan uang yang dia punya pada saat itu hanya Rp. 28;- yang bahkan tidak cukup untuk membeli harga normal sebesar Rp. 35,- . 

Melihat hal tersebut, sang Kapten menjadi marah dan menuduhnya berbohong. Karena sempat ada niat membeli tiket di darat dan karena tahu biaya sekolah tidaklah murah, jadi tak mungkin jika Perry tidak memiliki uang. Perry kemudian menjelaskan tentang sekolah yang ditujunya di Bandung tidak mengharuskannya mengeluarkan uang sepeserpun dan uangnya berkurang karena ada pengeluaran semasa di kapal. Setelah mendengar ceritanya, amarah sang Kapten sedikit mereda, lalu memberikan tiket kepada Perry untuk keperluan makan selama di kapal.


Akhirnya kapal tiba di Muntok, Pulau Bangka, temannya Dewasa harus turun karena sudah sampai di tujuan. Sekarang tinggal dirinya sendiri, tanpa teman seperjalanan. Berbagai hal berkelibat dalam benak Perry, dirinya memikirkan bagaimana nasibnya selanjutnya. Dia tidak memiliki surat keterangan, selain surat panggilan dari Sekolah Perawat, Rumah Sakit Advent Bandung. Bagaimana dirinya menuju Bandung dari Tanjung Priok? Lalu ketika tiba di Jakarta, harus ke mana dia pergi? Sejumlah pertanyaan terus timbul dan tenggelam dalam pikirannya, layaknya buih ombak di laut yang diarunginya.

Namun, nasib baik kali ini menghampiri dirinya. Di akhir-akhir waktunya di kapal, dirinya tiba-tiba mendapati dua pemuda yang tengah mencungkil-cungkil kopernya. Curiga dengan tingkah laku kedua orang tersebut, Perry pun meneriaki mereka menanyakan siapa mereka dan ada maksud apa dengan kopernya tersebut. Perry Siboro juga menjelaskan dirinya tidak memiliki apa-apa jadi tak perlu repot membongkar koper tersebut. 

Akan tetapi ternyata, mereka justru tengah mencari koper kosong untuk dititipi barang yang mereka bawa. Lalu dirinya mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa karena dirinya belum memiliki kepastian nanti di Tanjung Priok, tidak punya surat keterangan, dan tidak ada yang menjemput di Tanjung Priok. Tak dinyana dan tak diduga, mereka mengatakan hal itu tidak menjadi masalah. Selain itu, mereka juga menanyakan tujuan Perry datang ke Jakarta. Mereka mengatakan bahwa seluruh perjalanan Perry nantinya akan tidak menjadi masalah setibanya nanti di Jakarta. Syaratnya, adalah bila dirinya setuju meminjamkan ruang di kopernya untuk beberapa sandal. Bahkan mereka mengatakan akan mengurus perjalanan ke Bandung. Mereka juga menawarkan bila dia bisa menunggu, mereka dapat pergi bersama ke Bandung dua atau tiga hari lagi. Belakangan Perry baru menyadari mereka ini rupanya adalah pedagang/penyelundup antara Singapura, Jakarta, dan Belawan. 

Mendengar tawaran mereka, dan mengingat keadaan dirinya nanti di Jakarta yang belum jelas, terlebih mereka menawarkan juga agar saat ini juga Perry pindah bersama mereka ke Kelas I di kapal itu walaupun dengan risiko yang Perry sendiri tidak bisa bayangkan, akhirnya dirinya pun menyetujui tawaran mereka. Walau dengan sedikit khawatir ternyata ketika turun di Tanjung Priok, semua proses berjalan secara lancar. Mereka tidak melalui prosedur yang harus dilalui penumpang biasa. Bahkan di darat sudah ada mobil yang menunggu dan membawa dirinya ke tengah kota. Saat itu Perry benar-benar tidak tahu ke mana dirinya dibawa oleh mereka. 

Malam itu dirinya diberikan tempat menginap di sebuah losmen, setelah kopernya yang dipakai itu dikembalikan. Mereka juga memberikannya tiga pasang sandal, yang tidak terlalu diambil pusing oleh dirinya yang ketika itu karena yang ada dipikirannya saat itu adalah bagaimana dirinya bisa melewati malam itu dan meneruskan perjalanan ke Bandung dengan selamat. 

Karena masih terbawa ketegangan dari kapal menuju daratan, malam itu tidur Perry pun tidak terlalu nyenyak. Pikiran dan hatinya masih tidak tenang memikirkan bagaimana nasib akan membawa dia selanjutnya. Apakah ini semua pertanda dari Tuhan? Kekhawatiran itu pun berangsur sirna, ketika keesokan harinya mereka datang ke losmen tempat dirinya menginap mengatakan agar bersiap untuk diantarkan ke stasiun Kereta Api Senen. Mereka pun membelikannya satu tiket ke Bandung dan bahkan memberikan sejumlah uang kepada diriny sebagai upah apa yang dilakukannya kemarin.  Dirinya pun melanjutkan perjalanannya menuju Bandung dengan menggunakan kereta. Sesampainya di Kota Bandung, dirinya tidak menemui kesulitan menuju Rumah Sakit Advent, dengan menggunakan becak dari Stasiun. Waktu itu Rumah Sakit Advent masih berlokasi di daerah Taman Sari, sementara sekarang Rumah Sakit Advent telah pindah ke Jalan Cihampelas.

Segera setelah sampai di tujuan, Perry melapor ke pihak sekolah dan dia kemudian dimasukan ke asrama sekolah. Sejak saat itu, setelah perjuangan yang begitu panjang dari sebuah kampung di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, seorang Perry menjadi calon siswa School of Nursing, di Rumah Sakit Advent Bandung. Walaupun beragam suka duka dan rintangan yang menghadang selama pendidikan, akhirnya pada tahun 1960 dirinya dapat menamatkan sekolah dengan sangat baik.