BAB 4 LERIES DI PORSEA DAN SIANTAR

Leries Nurhayati Sitorus lahir dan besar di Lumban Sitorus, Porsea, Tapanuli Utara pada tanggal 10 Maret 1941, dari pasangan Ria Sitorus (bergelar Tuan Rengkut) dan Hanna Boru Manurung. Sebelum dia lahir, Pasangan Tuan Rengkut dan Hanna memiliki seorang anak perempuan bernama Tio namun meninggal pada saat masih bayi, jadi bisa dikatakan Leries adalah anak pertama, dari tujuh bersaudara, dua pria dan lima wanita.

Leries masuk sekolah dasar, yaitu Sekolah Rakyat Negeri (SRN) Pangombusan, Porsea, Tapanuli Utara, pada tahun 1949, saat dia berumur 9 tahun. Keterlambatan ini karena ayahnya, Tuan Rengkut, takut anaknya diganggu orang, karena badannya kecil untuk anak seusianya.

Tuan Rengkut, ayah Leries adalah keturunan orang kaya di kampung tersebut, sehingga dia memiliki banyak sawah, emas dan lain sebagainya sebagai warisan turun temurun. Oleh karena itu walaupun dia petani, tapi dia hanya menggaji orang untuk mengerjakan sawah-sawahnya. Dia juga memiliki kedai kopi dan tuak (minuman keras tradisional Batak yang terbuat dari beras).

Namun saat Leries masih SD, kondisi ekonomi ayahnya mulai menurun, akibat kegemaran ayahnya berjudi. Harta turun-temurunpun mulai habis satu persatu akibat judi. Ini sebabnya Leries sangat membenci judi, dan cenderung menghindari orang kaya sebab dalam pikirannya terkesan bahwa semua orang kaya adalah penjudi seperti ayahnya. 

Hanna, ibu Leries, mulai bekerja seperti berdagang beras, dengan cara membeli dari kampung dengan harga lebih murah, lalu digiling, dan dijual di Porsea. Leries juga mulai giat membantu ayahnya bertani. Leries juga menjual kue-kue dan permen di Simpang Empat, Porsea. Sebelum pergi sekolah Leries membuat lampet (kue tradisional Batak) dan menjaga kedai, sehingga tidak jarang dia terlambat ke sekolah. Namun karena prestasi Leries di sekolah bagus, guru-gurunya tidak ada yang marah terhadapnya. Leries pernah juga menjual kayu api, sehingga dia diejek “kok orang kaya jual kayu api” oleh orang-orang sekitar, namun Leries tidak perduli. Dia juga rajin membantu karena ingin agar ibunya terhibur karena ayahnya sering berlaku kasar terhadap ibunya. Oleh karena itu ibunya sangat sayang terhadap Leries.

Ada anak dari kampung yang sama yang bersekolah di sekolah Advent di Pematangsiantar, yaitu Kosti Sitorus. Leries sangat tertarik mendengar cerita-cerita yang dibawa pulang oleh Kosti, lagipula teman-teman dari sekolah Advent tersebut yang dibawa oleh Kosti ke kampung terlihat beda dari orang lain, sehingga dia menjadi ingin melanjutkan sekolah ke sekolah tersebut setelah lulus sekolah dasar. Pada saat Leries kelas 6 di sekolah dasar, pihak Advent mengadakan acara minggu sembahyang di kampungnya dan Leries rajin menghadirinya. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke sekolah Advent di Pematangsiantar semakin menggebu. Pada awalnya ayahnya tidak mengijinkan Leries untuk melanjutkan ke sekolah tersebut, dan dia ingin Leries melanjutkan ke SDB, yaitu sekolah untuk menjadi guru. Mendengar itu Leries sampai tidak mau makan seminggu. Ibunya membujuknya dan mengatakan agar dia tenang saja nanti akan disekolahkan ke sekolah Advent tersebut. Akhirnya orangtuanya menghubungi orangtua dari Kosti, dan ayahnya pun akhirnya pergi ke Pematangsiantar untuk melihat sekolah tersebut. Ayahnya terkesan saat melihat langsung sekolah itu, sebab direkturnya orang Amerika. Akhirnya ayahnya setuju menyekolahkan Leries ke sekolah tersebut. Setelah Leries lulus dari sekolah dasar pada tahun 1955, dia pun melanjutkan sekolah ke North Sumatera Training School (NSTS), yang sekarang adalah Sekolah Lanjutan Advent (SLA), Martoba, Pematangsiantar, yang waktu itu merupakan bagian dari Kab. Simalungun, Sumatera Utara. 


Di NSTS, pendidikan Leries berjalan lancar, walaupun dia tetap harus bekerja keras setiap kali pulang ke kampung pada masa liburan sekolah. Ayahnya tidak ingin dia menjual buku, seperti biasanya dilakukan para murid di NSTS, jadi dia bekerja keras bertani termasuk mencangkul sawah dan pekerjaan lainnya di kampung. Namun Leries termasuk siswa yang berprestasi, sehingga disaat banyak yang tinggal kelas, Leries tetap terus naik kelas, sehingga pada tahun 1958 dia berhasil melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas di sekolah yang sama.

Pada tahun 1959, saat hendak beranjak ke kelas dua, datanglah Direktur Rumah Sakit Advent Bandung, Jawa Barat, untuk melakukan seleksi siswa yang akan melanjutkan ke sekolah perawat di Rumah Sakit Advent (RSA), Bandung, Jawa Barat, karena diperlukan tambahan perawat sejalan dengan ekspansi rumah sakit. Seleksi ini tidak melalui ujian, namun berdasarkan prestasi pelajar sejak SMP, jadi Leries pun terpilih karena prestasinya yang baik. Tadinya Leries tidak ada niat sama sekali untuk melanjutkan ke Rumah Sakit Advent Bandung, namun rupanya ayahnya mendengar kabar tersebut dari orang lain dan mendorong dia untuk melanjutkan ke Bandung, sebab di jaman itu masih jarang siswa yang melanjutkan ke Jawa, apalagi seluruh biaya ditanggung oleh pihak Advent. Akhirnya Leries pun memutuskan untuk menerima tawaran bersekolah ke RSA Bandung.