BAB 7 SELAMAT TINGGAL HAWAII

Setelah menyelesaikan sekolahnya di School of Nursing, Rumah Sakit Advent Bandung, Perry menjadi perawat dan menjadi pegawai misi di Rumah Sakit Advent. Tidak tanggung-tanggung dirinya juga langsung mendapat kepercayaan menjadi Supervisor Central Supply di Rumah Sakit Advent yang baru di Jl. Cihampelas, Bandung. Sedangkan rekan-rekannya seangkatan rata-rata masih menjadi staff perawatan di Bagian Rawat Inap. 

Walaupun minatnya dalam dunia keperawatan adalah melayani orang sakit di bagian rawat jalan (out-patient), pekerjaanya di Central Supply dianggap cukup menantang. Sebab, di bagian inilah semua pasokan bahan-bahan untuk keperluan rawat inap disediakan seperti infus set, bahan-bahan linen steril untuk kamar bedah, catheter set, gauze steril maupun tidak steril, dan sebagainya. Selain itu, bagian ini yang juga menyediakan semua bahan linen yang digunakan di rumah sakit. 

Ketika semua tampak berjalan dengan baik, muncul persoalan yang menjadi pikiran Perry dimasa itu, yakni masalah pendapatan. Pada saat itu seorang lulusan Perawat Advent disetarakan dengan jenjang pendidikan D2, sedangkan para pegawai misi di bidang lain yang tamatan dari Indonesia Union Seminary seperti kependetaan, guru, akuntan/bendahara, sudah D3. Karena kebutuhan hidup yang tinggi, upah yang dirinya terima selama ini terasa kurang memadai.

Di satu sisi, sebagai anak sulung dirinya merasa sudah seharusnya membantu orangtua dalam menyekolahkan adik-adiknya. Namun di sisi lain, upah yang diterima setiap bulannya tanpa terasa habis setelah bayar sewa rumah kos-an, biaya makan dan biaya pribadi yang lain. Sisanya sudah sangat minim. Belum lagi dirinya memiliki rencana untuk mulai berkeluarga. Perry terus bertanya pada dirinya sendiri kapan hal tersebut bisa terwujud dengan keadaannya yang sekarang. 

Akhirnya dirinya mulai tertarik untuk melanjutkan pendidikan formalnya dengan masuk Fakultas Kedokteran di Bandung. tetapi sayangnya pada masa itu tidak ada yang bisa membiayai dan tidak ada yang bisa memberikan beasiswa. Sedangkan, tanpa beasiswa, sulitlah bagi dia untuk membiayai pendidikannya. 

Sebuah jalan keluar kemudian tiba-tiba muncul di tengah keputusasaannya. Semasa tinggal di Bandung, Perry indekos di sebuah kontrakan di daerah Maulana Yusuf, Teman-teman di rumah kontrakannya banyak mahasiswa ITB. Ada yang masih baru masuk ITB, ada yang hampir lulus. Dirinya banyak mendengar pembicaraan mereka tentang tawaran beasiswa yang datang ke kampus mereka, tak sedikit pula rekan-rekan mereka yang mendapatkan beasiswa baik dari dalam maupun luar negeri. Melalui merekalah lalu dirinya mendapatkan sebuah alamat instansi dari luar negeri, tepatnya di Hawaii, Amerika Serikat. 

Setelah mendapatkan alamat tersebut, Perry mencoba kemampuannya sekali lagi, dengan mengirimkan surat lamaran ke Center for Technical and Cultural Intercahange Between East and West University (East-West Center University) di Hawaii. Nasib baik kembali datang menghampirinya ketika sebuah surat datang meminta semua curiculum vitae dan satu lembaran ujian. Dengan penuh harapan dirinya segera menyiapkan dokumen yang dibutuhkan, menyelesaikan ujiannya dan mengirimkannya kembali dengan segera.

Tidak menunggu lama, dirinya kembali menerima surat dari universitas itu yang mengatakan bahwa dirinya berhak atas beasiswa yang diajukan dan berkesempatan berkuliah di jurusan Ilmu Psikologi yang dia ajukan, di dalam surat itu juga diberikan keterangan bahwa dirinya tidak harus membayar sepeser pun biaya selama empat tahun masa studi termasuk ongkos pergi ke sana dan ongkos pulang kembali ke Indonesia setelah lulus nanti. 

Lagi-lagi kesempatan emas datang menjadi milik seorang Perry, dirinya merasa bagaikan mendapat durian runtuh, gelora semangat dan antusiasme membuncah tak henti di dalam dadanya. Dirinya juga sengaja tidak pernah beritahukan hal ini kepada siapapun teman-teman kerjanya di Rumah Sakit Advent, termasuk atasannya, dengan maksud akan memberikan kejutan kepada mereka pada saat akhirnya nanti dirinya akan berangkat meninggalkan Bandung menuju Hawaii, Amerika Serikat. 

Untuk mempersiapkan keberangkatannya, Perry mulai hilir-mudik Bandung-Jakarta untuk melapor kepada Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, mengurus surat keterangan dari Departemen Pendidikan Tinggi, dan juga urusan paspor dari Imigrasi Indonesia di Jakarta. Waktu jaman itu Departemen Pendidikan dibagi dua: satu Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah dan satu lagi Departemen Pendidikan Tinggi. 

Urusannya  dengan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta berjalan sangat lancar setelah menunjukkan surat dari East-West Center University di Hawaii. Mereka memberikan petunjuk, agar setelah paspor dan surat izin dari Departemen Perguruan Tinggi sudah tersedia agar segera dibawa ke Kedutaan untuk dikeluarkan Student Visa, dan siap untuk berangkat. Namun hal tersebut sangat berbeda prosesnya di Departemen Pendidikan Tinggi dan Kantor Imigrasi Indonesia. Prosedur yang harus dia jalani begitu lamban, dilempar ke sana ke mari, bolak-balik ke setiap bagian untuk mengurus administrasinya. Sungguh melelahkan dan sulit, apalagi bagi dirinya yang tidak mempunyai banyak waktu dan uang. 

Sungguh disayangkan bahwa situasi politik di Indonesia pada waktu itu kurang mendukung, di mana pemerintah Indonesia cenderung ke blok Timur (Negara-negara Sosialis-Komunis) dan anti negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Hal tersebut diakuinya menjadi hambatan ketika mengurus dokumen di Indonesia. Semua begitu terasa berat karena rekan-rekannya yang lain yang hendak berangkat belajar ke negara-negara Sosialis seperti ke Polandia atau ke Uni Soviet, bisa mendapat izin dengan segera. Berbeda dengan yang akan berangkat ke Amerika Serikat seperti dirinya.

Perjuangannya di kala itu begitu gigih dalam memperjuangkan kesempatan emas itu, namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, tenggat waktu yang telah ditetapkan untuk melaporkan diri di East-West Center University di Honolulu, Hawai pun berlalu tanpa dirinya mendapatkan dokumen yang dibutuhkan. Walaupun dirinya tidak patah arang dan berusaha menghubungi universitas untuk memperpanjang waktu sedikit lagi, namun urusan administrasi dokumen dengan kedua lembaga ini tetap tidak bisa selesai. Akhirnya universitas memutuskan untuk membatalkan beasiswa itu.

Hatinya begitu hancur, semua usaha dan perjuangannya selama ini benar-benar sia-sia, sebuah kesempatan emas yang begitu berharga melayang begitu saja dari genggaman tangannya. Semua asa sudah habis rasanya dimakan kenyataan pahit ini. Kerugian yang dirinya alami tidak hanya sekedar materi, tetapi juga waktu tenaga yang terbuang selama proses pengurusan itu, dan yang lebih merugikan bagi seorang Perry adalah kehilangan semangat hidup, dirinya merasa pada saat itu inilah titik nadir dalam kehidupannya. Jiwanya ikut sakit bersama kegagalannya itu sehingga raganya pun tak kuat lagi menopang kehidupan yang sudah tak memiliki gairah itu lagi.

Akhirnya dirinya jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Advent Bandung. Pada masa itu dirinya benar-benar tidak memiliki gairah untuk hidup. Dia sempat terpikir, lebih baik dirinya mati saja. Diagnosa dokter menunjukkan dirinya menderita typhoid, yang diperparah oleh keputusasaan. Dalam ketidakberdayaannya di tempat tidur semasa sakit, lagi-lagi hatinya berkecamuk tentang nasib kehidupannya. Dia menyadari sudah dua kali dirinya bertekad tidak ingin lagi menjadi perawat. Pertama waktu di Sekolah Lanjutan Advent, Martoba, Pematangsiantar, lalu yang kedua sesudah diwisuda sebagai perawat.

Setelah kejadian itu, Perry pernah mendatangi kantor direktur Sekolah Bidan di RSU Rancabadak (Hasan Sadikin) untuk melamar menjadi siswa Sekolah Bidan selulusnya dari Sekolah Perawat. Tetapi serta merta dirinya ditolak oleh direktur. Dulu dirinya memang menyenangi ilmu kebidanan yang diambil selama satu semester di Nursing School. Dirinya begitu tertarik untuk mendalami ilmu kebidanan itu dan ingin menjadi bidan sebab bisa praktek umum sendiri nantinya. Alasan untuk merubah profesi bukan karena dirinya tidak menyukai ilmu keperawatan, tetapi adalah karena alasan ekonomi yang memang menjadi kendala. Belakangan dia mulai menyadari mungkin segala hambatan yang terjadi dalam hidupnya adalah karena Tuhan menginginkan dia untuk tetap menjadi perawat, dan setelah semua usaha untuk merubah nasib gagal, dirinya tidak berhasrat untuk bercita-cita menjadi apapun lagi selain perawat.