BAB 2 KEMBALI KE SIANTAR
Selama tiga tahun bersekolah di Berastagi, akhirnya Perry dapat menyelesaikan sekolah menengah pertama di Berastagi dengan predikat baik. Akan tetapi, kelulusan ini memunculkan permasalahan baru. Setelah lulus, Perry dihadapkan pada pilihan untuk memutuskan ke mana harus melanjutkan pendidikannya. Pada masa itu memang tidak ada banyak pilihan bagi Perry. Keterbatasan biaya juga masih menjadi hambatan baginya, dan untuk kembali ke Sidikalang merupakan suatu hal yang tidak mungkin karena tidak tersedianya sekolah menengah atas untuknya. Namun, di tangan Tuhan semua jawaban atas masalah ada jalan keluarnya.
Semua berawal dari kebiasaan unik Perry. Sebagai seorang remaja yang penuh rasa keingintahuan, Perry Alus Siboro muda memiliki cara unik untuk memenuhi rasa penasarannya akan berita dan perkembangan dunia. Karena tidak memiliki uang untuk membeli koran, Perry sering menghabiskan waktunya di warung dekat tempat tinggalnya di Berastagi. Di warung tersebut, dirinya suka membaca koran untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi.
Suatu saat, ketika sedang membaca koran di warung itu, dirinya membaca iklan-iklan tentang sekolah hakim dan jaksa. Salah satu yang menjadi perhatiannya adalah pada masa itu bagi mereka yang lulus ujian akan mendapat ikatan dinas dari pemerintah. Dengan kata lain, selain tanpa biaya sekolah, juga terdapat peluang juntuk menjadi pegawai negeri sipil dan selama pendidikan mendapat uang saku atau gaji.
Selain sekolah hakim dan jaksa, ada alternatif lain yang juga menarik perhatian Perry muda. Sebuah Sekolah Perawat untuk Rumah Sakit Umum dari Departemen Kesehatan juga membuka kesempatan bagi mereka yang sudah menamatkan sekolah menengah pertama, nantinya bagi yang lulus ujian masuk, akan memulai pendidikan tanpa membayar, dan setelah menamatkan pendidikan dapat langsung bekerja sebagai pegawai negeri di Rumah Sakit Umum yang dimiliki Departemen Kesehatan. Kedua peluang melanjutkan sekolah ini baginya adalah juga peluang untuk bisa ke Kota Medan, karena keduanya berada di Ibukota Sumatera Utara. Sekarang, tinggal bagaimana kedua orangtuanya menyikapi pilihan yang ada tersebut.
Untuk menentukan pilihan apa yang akan diambilnya, Perry memutuskan untuk berangkat ke kampung orang tuanya Simangar-angar, Sumbul Pegagan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara untuk bertemu kedua orangtuanya. Di sana Perry kembali bertemu sang oom Pdt. B.G. Siboro yang dulu pernah memberi saran baginya untuk melanjutkan sekolah ke Pematangsiantar. Perry pun bercerita pada sang paman tentang pilihan yang dihadapinya, di antara melanjutkan sekolah hakim dan jaksa atau memilih sekolah perawat.
Mendengar pilihan yang ada, sang paman yang melihat semangat di mata Perry muda, memberikan dukungan kepadanya untuk terus melanjutkan perjuangannya untuk mencapai cita-cita dengan bersekolah lagi. Tentang pilihan melanjutkan sekolah hakim dan jaksa, sang paman berpendapat bahwa menjadi hakim atau jaksa merupakan pilihan yang baik, apalagi pada waktu itu memang belum ada keluarga Siboro yang diketahui menjadi hakim atau jaksa.
Sedangkan, untuk pilihan menjadi perawat, sang paman memberi masukan supaya Perry melanjutkan di Sekolah Perawat di Rumah Sakit Advent, Bandung. Hal ini karena sistem pendidikannya hampir sama dengan sekolah menengah pertama Perry di Pematangsiantar dulu di mana ada orang asing yang nantinya akan mengajar di sana. Hal ini terntunya menarik perhatian Perry walaupun sebenarnya, menjadi perawat bukanlah cita-citanya. Dia lebih tertarik untuk menjadi jaksa atau hakim.
Sekolah ini sendiri tepatnya berada di bawah naungan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Di sekolah perawat ini nantinya juga tidak perlu membayar biaya sekolah dan setelah menyelesaikan pendidikan akan dipekerjakan di Rumah Sakit Advent. Namun sayang, pada masa itu, mereka hanya menerima lulusan Sekolah Menengah Atas. Untuk itu Perry harus melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Advent, Pematangsiantar terlebih dahulu untuk mencapai tingkat pendidikan yang setingkat SMA pada masa itu.
Keputusan akhirnya jatuh untuk mengambil Sekolah Perawat di Rumah Sakit Advent Bandung, dengan sebelumnya melanjutkan SMA dulu di SLA Martoba, Pematangsiantar. Akan tetapi, permasalahan kemudian muncul tentang bagaimana memenuhi kebutuhan biaya selama bersekolah di Pematangsiantar. Sang paman pun memberikan solusi baginya supaya ikut menjual buku sebagai pekerjaan sampingan di waktu libur. Dengan bekerja menjual buku, diharapkan juga supaya Perry bisa mendapatkan beasiswa dan dibebaskan uang sekolahnya. Dengan tekad dan harapan yang besar, Perry muda pun kembali ke Pematangsiantar.
Perry muda akhirnya menjadi siswa di Sekolah Lanjutan Advent, Martoba Pematangsiantar sejak tahun 1955 hingga 1957. Tidak sulit bagi dirinya untuk beradaptasi karena sejak dulu Perry menyukai sistem pendidikan di sekolah ini. Dia juga senang karena sebagian besar guru-guru di sekolah ini adalah warga negara asing. Dia mengagumi semua guru yang ditemuinya semasa pendidikan di sana, mereka semua adalah alumni dari Indonesia Union Seminary (IUS), sekarang Universitas Advent Indonesia (UNAI), di Bandung, terutama Mr. Richard Figuhr, yang merupakan Direktur SLA Advent seorang warganegara asing yang memiiliki karakter tegas, berkharisma dan disegani. Perry muda menaruh rasa kagum dan hormat yang besar kepadanya.
Semangat Perry dalam menimba ilmu, ditunjukannya dengan antusiasme yang tinggi dalam setiap pelajaran. Dirinya menyukai pelajaran yang paling digemari, yakni Bahasa Inggris. Baginya bahasa ini dapat menjadi ujung pedang dalam membuka jalannya ke bidang ilmu yang lain. Dengan menguasai bahasa Inggris dirinya dapat memahami buku-buku di perpustakaan yang hampir seluruhnya merupakan literatur dalam bahasa Inggris.
Antusiasme Perry muda juga ditunjukan dengan nilai ujian yang cukup baik, sehingga sang guru Bahasa Inggris Mr. John Sakul mempercayainya untuk membantu mengkoreksi kertas ujian rekan-rekan siswa lainnya. Kedekatannya dengan sang guru ini juga akhirnya memberikan inspirasi bagi dirinya untuk bisa menjadi seorang pengajar kelak suatu hari nanti. Dirinya menemukan kenikmatan menjadi seorang pengajar yang berbagi ilmu dan pengetahuan dengan sesama. Di dalam hatinya kembali menaruh harapan untuk dapat mengikuti jejak guru-guru yang dikaguminya itu dengan melanjutkan pendidikan di Bandung, dan mengambil jurusan keguruan nantinya.
Tahun pertamanya di SLA Martoba, Pematang Siantar dilaluinya dengan baik. Seiring berjalannya waktu sampailah dirinya di masa akhir kelas dua, di mana hasratnya untuk menjadi guru semakin besar. Sementara di waktu yang sama dirinya juga menyadari beban hidupnya masih sangat berat yaitu belajar sambil bekerja, menjadi penjual buku di kala liburan. Dirinya harus siap menjalani kondisi ini dan hal itu tidak menyurutkan semangatnya.